Powered By Blogger

Selasa, 22 April 2014

MAKALAH PANDANGAN ISLAM TENTANG IMUNISASI PADA ANAK






MAKALAH 


PANDANGAN ISLAM TENTANG IMUNISASI PADA ANAK





OLEH : 

BUDI ASTUTI 201310201145 

EKA KURNIA PUTRA DJAELANI 201310201156 

JONI ISKANDAR 201310201166 

NURSAHRI 201310201177 

SEPTYAWATI 201310201187 

VIVI ERLITA ANGGRAINI 201310201199 



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH 

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN 

2014 





PANDANGAN ISLAM TENTANG IMUNISASI 

A. Pengertian Imunisasi 

Secara literal, imunisasi berasal dari kata ‘imun’ yang berarti kebal terhadap suatu penyakit. Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi terdiri dari dua macam, yaitu imunisasi pasif dan imunisasi aktif. Imunisasi pasif merupakan kekebalan bawaan dari ibu terhadap penyakit. Sedangkan imunisasi aktif merupakan kekebalan yang harus didapat dari pemberian bibit penyakit lemah yang mudah dikalahkan oleh kekebalan tubuh yang berguna membentuk antibodi terhadap penyakit yang sama, baik yang lemah maupun yang kuat. Dengan demikian ‘imunisasi’ berarti pengebalan terhadap suatu penyakit. 

Prosedur pengebalan tubuh terhadap penyakit melalui teknik vaksinasi. Kata ‘vaksin’ itu sendiri berarti senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas atau sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Itulah sebabnya imunisasi identik dengan vaksinasi. Vaksin terbuat dari virus yang telah dilemahkan dengan menggunakan bahan tambahan seperti formaldehid dan thyrmorosal. 

1. Jenis-Jenis Vaksin 

Di antara jenis vaksin adalah: hepatitis (untuk mengusahakan kekebalan hati terhindar dari penyakit), polio (untuk mengusahakan atropi otot sehingga kebal dari penyakit dan jika kebal manfaatnya antara lain bentuk kaki lurus atau normal tidak seperti huruf O atau huruf X, dan kelumpuhan), rubella (supaya kebal dari serangan campak), BCG [Bacillus Calmitte Guerine] untuk mencegah serangan TBC [Tuber Culocis], DPT [Dipteri Portucis Tetanus] mencegah timbulnya penyakit gomen atau sariawan dan batuk rejan serta tetanus, MMR [Measless Mumps Rubella]. Di Indonesia, praktik vaksinasi-imunisasi terhadap balita [bayi di bawah umur lima tahun] antara lain: hepatitis B, BCG, polio, MMR, IPV, dan DPT. Vaksinasi-imunisasi bahkan telah deprogramkan secara internasional oleh WHO [World Health Organization]. 

2. Bahan-Bahan Vaksin 

Disebutkan bahwa materi yang digunakan sebagai bahan vaksin ada dua macam, (1) bahan alami, antara lain: enzim yang berasal dari babi, seline janin bayi, organ bagian tubuh seperti: paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi janin. Vaksin polio terbuat dari babi; atau campuran dari ginjal kera, sel kanker manusia, dan cairan tubuh hewan tertentu antara lain serum dari sapi atau nanah dari cacar sapi, bayi kuda atau darah kuda dan babi, dan ekstrak mentah lambung babi, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, dan jaringan otak kelinci. (2) Bahan yang berasal dari unsur kimia antara lain: merkuri, formaldehid, aluminium, fosfat, sodium, neomioin, fenol, dan aseton. 

3. Efek Vaksinasi 

Efek pemberian vaksinasi terhadap balita [bayi umur lima tahun ke bawah, selanjutnya cukup disebut balita] berdasar laporan-laporan resmi secara garis besar ada dua macam: 

a. Berbahaya. Conggres Amerika Serikat (AS) membentuk “The National Chilhoodvaccib injury act” berkesimpulan vaksinasi menyebabkan luka dan kematian. Dr. Wiliam Hay berkomentar, “tidak masuk akal memikirkan bahwa anda menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatannya. WHO [World Health Organization], yaitu organisasi kesehatan dunia menemukan bahwa anak yang divaksinasi campak memiliki peluang 15 kali lebih besar unuk diserang campak. Banyak penelitian medis mencatat kegagalan vaksinasi. Campak, gabag, polio, gondong juga terjadi di pemukiman penduduk yang diimunisasi

b. Bermanfaat. Disimpulkan bahwa imunisasi merupakan sebab utama penurunan jumlah penyakit. Dicatat oleh ‘The Brithis Association for the Advancement of Science”menemukan bahwa di Amerika Serikat dan Enggris mengalami penurunan penyakit sebanyak 80 % hingga 90 %. Umumnya di Indonesia seperti kita alami, dulu ketika masih kecil yang bekas-bekasnya masih jelas hingga sekarang, benar adanya menjadikan ada imunitas dalam tubuh kita. Jadi secara real (nyata), imunisasi ada menfaatnya bagi kesehatan. 

Disebutkan pula bahwa secara umum vaksinasi-imunisasi cukup aman karena keuntungan perlindungan jauh lebih besar dari pada efek samping yang mungkin ditimbulkan. 

Memang, kegagalan vaksinasi-imunisasi terjadi pada saat rintisan teknologi itu. Dengan demikian laporan WHO [World Health Organization] tentang efek buruk vaksinasi-imunisasi itu benar adanya. Akan tetapi, penelitian, penyempurnaan di bidang kesehatan terus dilakukan sehingga efek buruk dari vaksinasi-imunisasi itu dapat dikuramngi bahkan sekuat tenaga dinetralisir. Sehingga, perkembangan selanjutnya terdapat penyempurnaan di berbagai unsur. Perkembangan selanjutnya, formula vaksinasi-imunisasai lebih bagus, lebih halus, dan lebih aman, sehingga ada manfaatnya bagi usaha meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia, termasuk balita bagi vaksinasi-imunisasi mereka seperti: MMR , DPT, BCG, IPV, dan polio. 


B. Pandangan Islam Tentang Vaksinasi-Imunisasi 

1. Wasiat Rasulullah 

Sebelum Rasulullah wafat, tepatnya ketika beliau khutbah pada haji wada’, haji terakhir beliau atau dikenal sebagai haji perpisahan beliau dengan umat Islam, sempat berwasiat: “Taraktu fiikum amraini. Lan tad}illu> abada> ma> intamassaktum bihima> kitaba-lla>hi wa sunnata Rasu>lihi 

تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله. 

Artinya: 

Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selamanya selagi berpegang teguh keduanya, yaitu kitabullah (Alquran) dan Sunnah Rasulnya – al-Hadis; Iwan Gayo, 2008: 36). Oleh karena masalah vaksinasi-imunisasi belum terjadi pada masa Rasulullah, maka belum ada petunjuk sedikitpun tentang imunisasi. Terhadap masalah yang bersifat kontemporer menjadi lapangan dan lahan bagi para ulama untuk melakukan ijtihad menemukan solusi hukum perkara tersebut haram atau halal, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya bagi kesehatan. 

Para ulama dalam berijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer pasti tidak pernah menghasilkan keputusan ijma’yyah ‘amiyyah (kesepakatan umum), melainkan khlafiyyah (perbedaan pendapat diantara mereka). Bentuk khilafiyyah yang paling ekstrim adalah halal atau haram. Tidak terkecuali mengenai vaksinasi-imunisasi. Dalam Ilmu Fikih memang terdapat adagium “Man laa ya’lamu khilaafiyyatan laa ya’lamu raaihatal fiqhi” (Barang siapa tidak mengenal perbedaan pendapat, sesungguhnya ia tidak mengenal baunya Fikih”). Baunya saja tidak mengetahui, apalagi ilmu fikihnya itu sendiri. 


C. Pro-kontra imunisasi dan vaksin 

Jika membaca yang pro, kita ada kecendrungan hati mendukung. Kemudian jika membaca yang kontra, bisa berubah lagi. Berikut kami sajikan pendapat dari masing-masing pihak dari informasi yang kami kumpulkan. 

1. Pendapat yang kontra: 

a. Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua haram dipakai secara syari’at. 

b. Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan lain-lain. 

c. Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya. 

d. Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat. 

e. Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka. 

f. Bisnis besar di balik program imunisasi bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang orang-orang muslim. 

g. Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda. 

h. Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi. 

i. Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi. 

2. Pendapat yang pro: 

a. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin. 

b. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar. 

c. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu dilakukan vaksinasi. 

d. Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang. 

e. Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti. 

f. Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakatnya. 

g. Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi. Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita. 

Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksin. Contohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC. 

Terlepas dari itu semua, kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan hati kami berkaitan dengan syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari kebingungan kami menuju sebuah kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi. 

1. Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr 

Hal ini berkaitan dengan program “wajib” pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi imunisasi “wajib”. 

Sudah menjadi aqidah ahlus sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang ringkas saja. 

Allah Ta’ala berfirman, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ 

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An Nisa’: 59] 

Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak, maka kita berdosa. Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh melawan pemerintah dengan melakukan demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan karena lebih besar bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin. 

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

كُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ 

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“ 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?” 

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847] 

Kita baru diperbolehkan untuk tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran yang nyata, jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat. 

سمعوا وأطيعوا، إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان 

“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim] 

Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam sehingga tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah para ulama. Karena bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu kita bedakan antara pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih menganggap baik hukum Islam. Dan di antara bukti negeri tersebut masih muslim adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang bersifat jama’i seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ 

“Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317, 5698, dan Muslim no. 214.] 

Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi maka akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”. 

Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan bisa merusak tubuh. Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita dilarang merusak tubuh kita sendiri. 

Allah Ta’ala berfirman, 

وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah: 195] 

Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ 

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257] 

Namun, kami berusaha mencari-cari lagi apa yang dimaksud dengan “wajib” oleh pemerintah agar lebih menentramkan dan keluar dari perbedaan pendapat. 

2. Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak 

Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang wajib ‘ain dan wajib kifayah. wajib Karena ada beberapa alasan. 

a. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak langsung imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas wabah. Bisa dilihat di: : http://medbook.or.id/news/other/170-uu-no-4-tahun-1984 Ancaman bagi yang tidak mendukungnya, bisa dihukum penjara dan denda. 

Akan tetapi, pemerintah juga masih kurang konsisten dalam menerapkan hukuman ini. Bisa dilihat pernyataan salah satu pemimpin kita. 

”Kita tidak bisa memberikan sanksi hukuman, tetapi kita hanya bisa menghimbau kepada aparat, ibu-ibu, LSM, majelis taklim, ketua RT, dan lurah, agar menggerakkan warganya ke pos-pos imunisasi. Mudah-mudahan Jakarta bebas polio,,” 


Walaupun sumber tersebut tahun 2005, tetapi ini menunjukkan setidaknya pemerintah pernah tidak konsisten. 

b. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas, dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan hukuman. 

c. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di Papua? 

Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka mencari-cari ke daerah yang ada imunisasi dan vaksin? 

Bagimana dengan yang tidak mampu membayar imunisasi? Karena pemerintah belum menggratiskan secara menyeluruh imunisasi. Walaupun ada yang murah, tetapi tetap saja ada penduduk yang untuk makan sesuap nasi saja sulit. Apakah orang miskin-papa seperti mereka harus dipenjara atau didenda karena tidak imunisasi? 

d. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang yang dihukum penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak diimunisasi. 

e. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan imunisasi. Tetapi,wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap mereka. 


D. MUI (Mejlis Ulama Indonesia) 

MUI [Mejlis Ulama Indonesia] menghukumi haram menggunakan obat, termasuk vaksinasi-imuniasi, yang najis. Pemberian vaksinasi IPV [Infection of Pneumococus vaction, selanjutnya cukup disebut IPV] terhadap anak yang menderita imunocompromisme saat ini boleh sepanjang belum ada jenis IPV lain yang halal. Manfaat yang diharapkan dari vaksin ini antara lain juga untuk mengusahakan kekebalan paru-paru dari serangan penyakit. 

1. Haram 

Para ulama, pemikir, mujtahid ada yang menghukumi haram terhadap tindakan vaksinasi-imunisasi. Argumen yang diajukan antara lain memasukkan barang najis dan racun ke dalam tubuh manusia. Manusia iu merupakan khaifatullah fi al-ard} dan asyraf al-makhlu>qa>t (maskhluk yang paling mulia) dan memiliki kemampuan alami melawan semua mikroba, virus, serta bakteri asing dan berbahaya.Berbeda dengan orang kafir yang berpendirian manusia sebagai makluk lemah sehingga perlu vaksinasi untuk meningkatkatkan imunitas pada manusia. 

Para filosof Barat dari aliran Eksistensialisme kiri, seperti Jean Paul Sartre menyatakan bahwa manusia hanyalah sampah yang terbuang dan tak berarti. Ia berkata: My original fall is the existence of the Other. I grasp the Other’s look ad the very center of my act as the solidificatiom and alineatiom of my own possibilities (Asal mula kejatuhanku karena keberadaan orang lain. Aku mengerti tatapan orang lain tertuju benar-benar kepada setiap tindakanku sebagai sesuatu yang padat dan mengasingkan kemungkinan-kemungkinanku yang aku punyai; Jen Paul Sartre: 1948: 263). Yang ia maksud dengan istilah ‘kejatuhan’ adalah ketidakmaknaan keberadaannya. Jadi manusia tak ubahnya bagaikan sampah. Ia menambahkan bahwa kejatuhannya itu adalah permanen. . . . “is the permanent structure of my being for the Other” (ibid). Hanya karena manusia diperhatikan orang lain dimaknai dimakan orang lain hingga kepribadiannya hancur tak bermakna. Dari sinilah ia juga mengatakan manusia sebagai homo homini lopus (manusia adalah binatang yang saling memangsa). Paham ini kemudian masuk ke Indonesia antara lain melalui sajak Chairil Anwar tentang ‘Aku’. Dalam sajak ini disebutkan bahwa manusia hanyalah binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Lebih dari itu, pendapat manusia sebagai binatang telah berakar sejak zaman filsafat Yunani purba.Aristoteles menyatakan bahwa manusia hanyalah binatang yang berpikir. Esensi pendapat ini adalah menyatakan bahwa manusia hanyalah binatang. Jadi tidak bermasalah sama sekali jika di dalam tubuhnya dimasukkan sesuatu yang menurut syariat adalah benda-benda najis karena ‘manusia’-nya sendiri adalah sesuatu yang identik dengan ‘najis’. 

Solusi yang diajukan untuk meningkatkan kekebalan balita adalah menghindari tindakan vaksinasi-imunisasi pada balita maupun manusia pada umumnya, selanjutnya menerapkan syariat tahnik kepada balita, yaitu memasukkan kurma yang telah dikunyah lembut atau madu ke dalam rongga mulut si bayi ketika melaksanakan uapaca ‘aqiqahpada hari ke tujuh dari kelahiran anak. Tahnik dipandang sebagai vaksinasi-imunisasi. Perlu ditambahkan bahwa pada zaman Nabi tidak ada anak yang divaksinasi dan kenyataannya juga sehat-sehat dan banyak yang berumur panjang. Artinya umur harapan hidup rata-rata sejak zaman Rasulullah dan zaman sekarang kurang lebih sama. 

Segera diingatkan di sini bahwa, jika seseorang melakukan tahniq terhadap balita, terutama ayahnya, jangan mengikuti praktik Nabi, yaitu mengunyah kurma, setelah lembut kemudian dimasukkan ke mulut anak. Praktik Nabi ini harus dipandang kasus ekstrim atau istimewa. Ada sesuatu yang berada di luar nalar. Sebut saja karamah beliau. Abu Hurairah diludahi mulutnya oleh Rasulullah, bukan ludah kebencian, menyebabkan Abu Hurairah sangat fasih dan merupakan sahabat yang paling banyak menghafal hadis (al-muktsiru>na fil h}adis; Abd al-Baqi, 2007:902), padahal sahabat ini hanya bersama dengan belaiau kurang lebih dua tahun setengah masa akhir-akhir hidup Rasul. Sahabat ini memang masuk Islam belakangan, setelah Futuh} Makah, pelaklukan kota Makah oleh Rasulullah beserta pasukannya dari Madinah. (Iwan Gayo,2008: 61). Jika seseorang melakukan tahnik persis seperti praktik Rasulullah, dikhawatirkan sekali banyak mengandung virus pada air liur pengunyah kurma. Sementara itu, si bayi yang baru berumur tujuh hari belum memiliki sistem kekebalan yang sempurna. Untuk itu, dalam melakukan tahniq hendaklah menggunakan madu berkualitas bagus atau sari kurma. Sekarang telah banyak tersedia di toko-toko obat, apotik, bahkan took-toko swalayan seperti mall yang menyediakan sari kurma berbentuk cairan. Kedua bahan ini lebih hyginedan insya Allah steril dari kuman, bakteri, jamur, maupun virus yang membahayakan bagi kesehatan bayi karena diproses menurut teknologi modern dan sehat. 

2. Halal 

Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini, 

ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟ 

“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit seperti imunisasi?” 

Beliau menjawab, 

لا بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فلا بأس بتعاطي الدواء لدفع البلاء الذي يخشى منه لقول النبي صلى الله عليه وسلم في الحديث الصحيح: «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر ولا سم (1) » وهذا من باب دفع البلاء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو في أي مكان لا بأس بذلك من باب الدفاع، كما يعالج المرض النازل، يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه. 

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun” 

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya. [sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238

Kelompok kedua mengatakan bahwa vaksinasi-imunisasi adalah halal. Pada prinsipnya vaksinasi-imunisasi adalah boleh alias halal karena : 

a. Vaksinasi-imunisasi sangat dibutuhkan sebagaimana penelitian-penelitian di bidang ilmu kedokteran, 

b. Belum ditemukan bahan lainnya yang mubah, 

c. Termasuk dalam keadaan darurat, 

d. Sesuai dengan prinsip kemudahan syariat di saat ada kesempitan atau kesulitan. Ayat tersebut menjelaskan prinsip kemudahan dalam pelaksanaan syariat Islam: 


Artinya: 

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah/2 : 172). 

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa memakan yang mestinya haram seperti memakan daging babi yang telah dimasak menjadi halal ketika memang tidak ada makanan selain itu, selagi ia memakannya secukupnya, yaitu untuk menyambung hidup, bukan dalam arti memakan daging babi dalam berbagai olahan kuliner sehingga mendatangkan aneka macam aroma, rasa, dan citarasa untuk berpestaria dalam hal makan-memakan. Harap diingat bahwa ada saja seorang muslim yang tampaknya hidup di perkotaan, tinggal di asrama mewah tetapi ia dalam keadaan darurat terus menerus, yaitu makanan harian selalu mengandung unsur babi dan alkohol sarana mabuk. Dia itu seperti seorang muslim studi di luar negeri di negara sekuler yang jauh dari suasana Islam. Dalam keadaan demikian, ia boleh saja makan harian sebagaimana mereka dari penduduk asli non muslim makan. Setelah ia selesai studi dan pulang ke kampung halaman, keadaan menjadi normal, ia harus kembali hanya makan yang halal. Dengan demikian, secara analogis vaksinasi-imunisasi yang bahan-bahan alaminya najis boleh dilakukan terhadap keluarga muslim lantaran belum ada faksin yang sepenuhnya dari benda-benda halal dan suci, dari najis. 

Berkenaan dengan benda najis ini, perlu disampaikan pula di sini tentang vaksinasi-imunisasi meningitis bagi para calon jamaah haji. Pemerintah Arab Saudi hanya memperbolehkan jamaah haji asal non Arabia jika telah memiliki sertifikasi vaksinasi-imunisasi meningitis. Sementara itu, vaksin ini mengandung unsur babi. Untuk jamaah dari Indonesia, vaksin yang harus disuntikkan ke dalam tubuh calon jamaah haji adalah jenis meningitis tetravalent atau quadrivalernt karena berasal dari bakteri N yang lazim disebut ACWY dan diproduksi oleh Glaxo Smith Kline, Belgia. Sebenarnya, dalam formula akhir, barang jadi siap pakai, vaksin meningitis ini telah steril dari enzim babi. Enzim babi ini hanya digunakan dalam proses pembuatan formula vaksin (Majlis Tarjih Jateng, 2010 : 6). Namun demikian tetap ada yang keberatan menggunakannya, lebih baik tidak ibadah haji dari pada memasukkan benda najis mughalad}ah ke dalam tubuh yang tidak bisa disucikan secara syariat. Jika pendirian ini menjadi kebijakan resmi kaum muslimin tentu tida ada orang Islam melakukan ibadah haji yang berasal dari non Arab. Oleh karena itu, agar setiap orang Islam dapat melakukan ibadah haji, asal mampu, maka keharusan menggunakan vaksin meningitis sebagaimana disyaratkan oleh pemerintah Saudi Arabia harus kita terima sebagai seseuatu yang darurat. Selanjutnya prinsip keadaan darurat diberlakukan, bahwa setiap keadaan darurat diperbolehkan yang semula dilarang (ad}-d}aru>ratu tubi>h}ul-mah}d}u>ra>t). 

Vaksin meningitis ini memang amat membahayakan bagi keselamatan jiwa manusia. Pada tahun 2001 WHO [World Health Organization] mencatat terdapat 1,2 juta kasus terinveksi virus N ACWY, 135.000 diantaranya meninggal dunia. Di Nigeria, dari 4164 kasus dalam satu minggu meninggal 171 jiwa (Majlis Tarjih Muhammadiyah Jateng, 2010 : 3). Virus ini bisa menjadi epidemi. Jadi amat membahayakan bagi keselamatan jiwa, khususnya kurang lebih 5 juta, jamaah haji dari berbagai penjuru di dunia. Jika dalam waktu singkat terjadi wabah di Arab Saudi pada pelaksanaan haji, kemudian mereka terjangkit virus ini, selanjutnya mereka pulang ke negara masing-masing sambil membawa virus maut ini, tentu dalam waktu singkat dunia akan terjangkit epidemi. Orang akan begitu mudah mengutuk Islam dan orang Islam, bahwa ibadah haji dan umat Islam adalah pembabawa petaka dunia. Maka kemungkinan ini harus dicegah dengan cara kita tetap menggunakan vaksin meningitis ini selama belum ada produk alternatif yang halal. 

a. Pertimbangan-pertimbangan Umum Kehalalan Vaksinasi-Imunisasi 

Dalam kesempatan ini penulis memberikan lima macam reasioning yang kiranya dapat menghantarkan pada sikap yang mudah-mudahan objektif, sesuai syariat, dan sejalan dengan paradigma ilmu kesehatan. 

1) Istih}a>lah 

Istih}a>lah adalah berubahnya benda najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama maupun sifatnya. Contoh (1) adalah khamer menjadi cuka. Khamer haram hukumnya dan sifatnya memabukkan, setelah menjadi cuka halal hukumnya dan tidak memabukkan sifatnya. Khamer memang berasal dari benda-benbda suci seperti anggur, kurma, singkong, beras ketan, dan aneka buah-buahan seperti nanas dan dunrian. Contoh (2) adalah kulit bangkai ketika disamak menjadi suci (al-Hadis). Dari kedua benda ini, yaitu cuka dan kulit yang telah disamak, ternyata tidak ada hukum yang menyatakan najis dan haram. 

Atas dasar prinsip ini, cairan vaksin atau vaksin dalam arti bentuk produk yang sudah jadi yang sudah berubah dari bentuk, bau dan sifatnya dari bahan asalnya, kemudian dimasukkan ke dalam tubuh manusia berproses secara alami atau kimiawi, atau senyawa yang akhirnya hilang substansi dan sifat vaksin menyatu dengan seluruh organisme dalam tubuh. Selanjutnya difusi makro itu berubah menjadi zat anti bodi, yaitu sistem kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit. 

2) Istihla’ 

Istihla’ adalah bercampunya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya karena benda najis dan haram tersebut telah hilang rasa, bau, maupun warna. Relefan dengan kasus ini adalah sabda Nabi Saw.: 

إن الماء طهور لا ينجسه شيئ (اخرجه الثلاثة وصححه أحمد). 

“ al-maa u thahuurun laa yunajjisuhu syaiun” (Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya – HR. tiga orang [at-Turmuzi, Abu Dawud, dan Ahmad bin Hanbal] dan dishahihkan oleh Ahmad – Ibnu Hajar al-Asqalani, 2000 : 27). 

Atau 

إذا كان الماء قلتين لم يجعل الخبث. وفى لفظ لم ينجس.اخرجه الاربعة وصححه إبن خزيمة. 

‘‘Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak kotor. Dalam suatu riwayat ‘tidak najis. HR. Empat orang [at-Turmuzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ibnu Khuzaimah menshahihkannya – Ibnu Hajar a-Asqalanbi, 2000: 28). 

Atas dasar prinsip ini, cairan vaksin yang begitu sedikit dalam ukuran cc dimasukkan ke dalam tubuh bercampur dengan darah atau cairan lain, (unsur cairan dalam tubuh mencapi 80 %) yang sekian ratus ribu kali jauh lebih banyak kemudian melaui proses-proses yang terjadi di dalam tubuh hilanglah sifat, warna, maupun baunya dari materi vaksin asli (sebelum dimasukkan). Harap diingat pula materi vaksin itu telah berbeda sama sekali dengan bahan-bahan aslinya ketika masing-masingnya belum disenyawakan. Prinsipistihla’ sejalan dengan prinsip istihsan. Melalui prinsip ini, najis yang terlalu sedikit yang menempel dalam tubuh tidak menjadi halangan untuk melakukan salat selama belum hadas. Contohnya adalah jika seseorang melakukan salat. Pada saat itu ada seekor nyamuk hinggap di tangan. Nyamuk itu kemudian menggigit dan menyedot darah dalam tubuh. Akibatnya si mushalli merasa gatal, kemudian nyamuk itu dipencet (dalam bahasa Jawadipithes) sehingga ia mati dan ada darahnya di tempat itu. Keadaan ini tidak membatalkan salat karena terdapat barang najis, yaitu darah yang tertumpah. Darah yag terlalu sedikit ini tidak dihitung sebagai najis, dikenal ma’fu (diampuni atau dimaklumi). 

3) Kemudahan dalam kesempitan 

Imam asy-Syatibi, ulama dari Andalusia, Spanyol, sekurun dan sekelas Imam Syafi’i, mengatakan bahwa dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat Islam telah mencapai derajat yang pasti. Di antara dalil itu berbunyi; (1) ad-Di>nu yusrun. Ah}abbu ad-di>ni ila-lla>hi as-samh}atu al-hani>fatu” (Agama itu mudah. Agama yang disenangi Allah adalah agama mudah dan ringan – al-Hadis). (2) Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa kaidah syariat itu dibangun di atas fondasi ‘segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas’. (3) Allah berfirman sebagai berikut: 


Artinya: 

Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath/48 : 17). 

Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam beragama tidak perlu bersulit-sulit. Selain itu, dalam berbagai peristiwa, secara tekstual hingga 10 kali Allah memberikan kebebasan sebagai peringanan karena tidak bisa melaksanakan perintah-Nya. Intinya, umat Islam dalam menjalankan keberagamaannya jangan sampai menyulitkan diri, tetapi juga jangan melecehkannya, menganggap ringan, atau seenaknya sendiri. Melaksanakan perintah sejauh kemampuannya. Allah mengingatkan kepada umat Islam melalui firmannya sebagai berikut: 


Artinya: 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."(QS. Al-Baqarah/2 : 286). 

4) Berobat dengan yang Haram secara prinsip itu boleh menurut imam syafi’i, Imam Hanafi, dan Ibnu Hazm Kalau keadaannya terpaksa dengan mengajukan ayat Alquran sebagai berikut: 


Artinya: 

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas (QS. Al-An’am/6 : 119). 

Dalam ayat ini jelas ada ungkapan boleh memakan haram karena terpaksa, yaitu dalam potongan ayat “. . . Ma> harrama ‘alaikum illa> mad}thurirtum . . .” ( . . . kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. ..) dalam posisi makan haram terpaksa adalah memasukkan barang haram dan najis ke dalam tubuh. Allah membolehkannya 

Nabi sendiri membolehkan laki-laki memakai sutra karena sakit kulit. Beliau membolehkan memakai emas kepada sahabat dari Arfajah untuk menutupi aibnya. Beliau juga membolehkan mencukur rambutnya di waktu ihram karena terkena penyakit di kepala (borok). 

5) Fatwa Majlis Eropa lil Iftaa’ wa al-Buhuts 

Lembaga fatwa dalam merespon kehebohan vaksinasi-imunisasi bagi anak-anak muslim memberikan dua macam pertimbangan, (1) Mempertimbangkan manfaat vaksin sebagaimana diketahui dari ilmu kedokteran dan menghindari bahaya yang lebih besar, selama belum ada yang lain yang halal, maka hukumnya boleh berimunisasi untuk anak-anak karena masalah ini termasuk keadaan darurat. (2) Memberikan wasiat kepada para pemimpin umat Islam agar tidak terlalu keras dalam masalah ijtihadiyah seperti ini yang membawa maslahat yang lebih besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas. 

a) Konklusi dan Implikasi 

Atas dasar lima pertimbangan umum di atas dinyatakan bahwa vaksinasi-imunisasi yang bertujuan untuk mengusahakan kesehatan manusia itu boleh atau halal selagi belum ada bahan vaksinasi-imunisasi yang halaalan thayyiban. Untuk itu, tenaga medis: dokter, perawat, dan bidan bisa menyuntikkan vaksin (DPT, BCG, MMR, IPV, dan meningitis) untuk mengusahakan kekebalan tubuh manusia inklusif balita dari serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, kuman, dan virus yang berbahaya bagi kesehatan. Akan sangat bagus kalau para sarjana kesehatan (apoteker, analis kesehatan, dokter, Farmakolog, mungkin juga termasuk herbalis) segera memproduk vaksin yang seluruhnya terbuat dari bahan atau sintetisnya yang sepenuhnya secara material halal). 

Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi syari’at. 

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio. Dalam masalah tersebut, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal: 

Ø Pertama: 

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak (melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan bahaya. 

Ø Kedua: 

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i). [Disarikan darihttp://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203

Perlu diketahui juga bahwa di Saudi Arabia sendiri untuk pendaftaran haji melalui hamlah (travel) diwajibkan bagi setiap penduduk asli maupun pendatang untuk memenuhi syarat tath’im (vaksinasi) karena banyaknya wabah yang tersebar saat haji nantinya. Syarat inilah yang harus dipenuhi sebelum calon haji dari Saudi mendapatkan tashrih atau izin berhaji yang keluar lima tahun sekali. 

v Jangan meyebarluaskan penolakan imunisasi 

Merupakan tindakan yang kurang bijak bagi mereka yang menolak imunisasi, menyebarkan keyakinan mereka secara luas di media-media, memprovokasi agar menolak keras imunisasi dan vaksin, bahkan menjelek-jelekkan pemerintah. Sehingga membuat keresahan dimasyarakat. Karena bertentangan dengan pemerintah yang membuat dan mendukung program imunisasi. 

Hendaknya ia menerapkan penolakan secara sembunyi-sembunyi. Sebagaimana kasus jika seseorang melihat hilal Ramadhan dengan jelas dan sangat yakin, kemudian persaksiannya ditolak oleh pemerintah. Pemerintah belum mengumumkan besok puasa, maka hendaknya ia puasa sembunyi-sembunyi besok harinya dan jangan membuat keresahan di masyarakat dengan mengumumkan dan menyebarluaskan persaksiannya akan hilal, padahal sudah ditolak oleh pemerintah. Karena hal ini akan membuat perpecahan dan keresahan di masyarakat. 

Islam mengajarkan kita agar tidak langsung menyebarluaskan setiap berita atau isu ke masyarakat secara umum. Hendaklah kita jangan mudah termakan berita yang kurang jelas atau isu murahan kemudian ikut-kutan menyebarkannya padahal ilmu kita terbatas mengenai hal tersebut. Hendaklah kita menyerahkan kepada kepada ahli dan tokoh yang berwenang untuk menindak lanjuti, meneliti, mengkaji, dan menelaah berita atau isu tersebut. Kemudian merekalah yang lebih mengetahui dan mempertimbangkan apakah berita ini perlu diekspos atau disembunyikan. 

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, 

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً 

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa: 83] 

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan ayat ini, 

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه 

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada Hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah dan [pemerintah] yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuwan, peneliti, penasehat, dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan, dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya. [Taisir Karimir Rahman hal. 170, Daru Ibnu Hazm, Beirut, cetakan pertama, 1424 H] 

Sebaiknya kita menyaring dulu berita yang sampai kepada kita dan tidak semua berita yang kita dapat kemudian kita sampaikan semuanya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ 

“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.” [HR. Muslim] 

Demikianlah semoga kelegaan ini bisa juga membuat kaum muslimin yang juga sebelumnya berada di dalam kebingungan juga bisa menjadi lega. 

Kami sangat berharap adanya masukan, kritik dan saran kepada kami mengenai hal ini. Jika ada informasi yang tegas dari pemerintah tentang wajibnya imunisasi secara mutlak, kami mohon diberitahukan. 

v Pendapat kami pribadi mengenai imunisasi dan vaksin 

Hati kami merasa lebih tentram dengan condong ke arah pihak yang pro. Wallahu ‘alam. Kami memang memiliki latar belakang pendidikan kedokteran, sehingga mungkin ada yang mengira kami terpengaruh oleh ilmu kami sehingga mendukung imunisasi dan vaksinasi. Akan tetapi, justru karena kami memiliki latar belakang tersebut, kami bisa menelaah lebih dalam lagi dan mencari fakta-fakta yang kami rasa lebih menentramkan hati kami. Berikut kami berusaha menjabarkannya dan menjawab apa yang menjadi alasan mereka menolak imunisasi. 

v Vaksin haram? 

Ini yang cukup meresahkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah muslim. Namun mari kita kaji, kita ambil contoh vaksin polio atau vaksin meningitis yang produksinya menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Belakangan ini menjadi buah bibir karena cukup meresahkan jama’ah haji yang diwajibkan pemerintah Arab Saudi vaksin, karena mereka tidak ingin terkena atau ada yang membawa penyakit tersebut ke jama’ah haji di Mekkah. 

Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar, Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan, 

“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin

Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan warna najisnya hilang. 

Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan, 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَحْبِسُ الدَّجَاجَةَ ثَلَاثَةً إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ بَيْضَهَا 

”Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung [mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717] 

Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama. 

v Perubahan benda najis atau haram menjadi suci 

Kemudian ada istilah [استحالة] “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Pada enzim babi vaksin tersebut telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah, maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. 

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah, 

وَاَللَّهُ – تَعَالَى – يُخْرِجُ الطَّيِّبَ مِنْ الْخَبِيثِ وَالْخَبِيثَ مِنْ الطَّيِّبِ، وَلَا عِبْرَةَ بِالْأَصْلِ، بَلْ بِوَصْفِ الشَّيْءِ فِي نَفْسِهِ، وَمِنْ الْمُمْتَنِعِ بَقَاءُ حُكْمِ الْخُبْثِ وَقَدْ زَالَ اسْمُهُ وَوَصْفُهُ، 

“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin 1/298, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan pertama, 1411 H, Asy-Syamilah] 

v Percampuran benda najis atau haram dengan benda suci 

Kemudian juga ada istilah [استحلاك] “istihlak” yaitu bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci sehingga mengalahkan sifat najisnya , baik rasa, warna, dan baunya. Misalnya hanya beberapa tetes khamr pada air yang sangat banyak. Maka tidak membuat haram air tersebut. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ 

“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” [Bulughul Maram, Bab miyah no.2, dari Abu Sa’id Al-Khudriy] 

كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ اَلْخَبَثَ – وَفِي لَفْظٍ: – لَمْ يَنْجُسْ 

“Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis”, di riwayat lain, “tidak najis” [Bulughul Maram, Bab miyah no.5, dari Abdullah bin Umar] 

Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang melalui proses pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal terkalahkan sifatnya. 

v Jika kita memilih vaksin adalah haram 

Berdasarkan fatwa MUI bahwa vaksin haram tetapi boleh digunakan jika darurat. Bisa dilihat di berbagai sumber salah satunya cuplikan wawancara antara Hidayatullah dan KH. Ma’ruf Amin selaku Ketua Komisi Fatwa MUI [halaman 23], sumber:http://imunisasihalal.wordpress.com/2008/03/13/wawancara-dengan-mui-vaksin-haram-tapi-boleh-karena-darurat/

v Berobat dengan yang haram 

Jika kita masih berkeyakinan bahwa vaksin haram, mari kita kaji lebih lanjut. Bahwa ada kaidah fiqhiyah, 

الضرورة تبيح المحظورات 

“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang” 

Kaidah ini dengan syarat: 

a. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. 

b. Digunakan sekadar mencukupi saja untuk memenuhi kebutuhan. 

Inilah landasan yang digunakan MUI, jika kita kaji sesuai dengan syarat: 

v Saat itu belum ada pengganti vaksin lainnya 

Adapun yang berdalil bahwa bisa diganti dengan jamu, habbatussauda, atau madu [bukan berarti kami merendahkan pengobatan nabi dan tradisional], maka kita jawab bahwa itu adalah pengobatan yang bersifat umum dan tidak spesifik. Sebagaimana jika kita mengobati virus tertentu, maka secara teori bisa sembuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh, akan tetapi bisa sangat lama dan banyak faktor, bisa saja dia mati sebelum daya tahan tubuh meningkat. Apalagi untuk jamaah haji, syarat satu-satunya adalah vaksin. 

v Enzim babi pada vaksin hanya sebagai katalisator, sekedar penggunaannya saja. 

Jika ada yang berdalil dengan, 

إن الله خلق الداء والدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام 

”Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” [HR. Thabrani. Dinilaihasan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1633] 

Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat: 

Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut. 

Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. 

Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah, 

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما. 

”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“ 

Dan Maha Benar Allah yang memang menciptakan penyakit namun pasti ada obatnya. Kalau tidak ada obatnya sekarang, maka hanya karena manusia belum menemukannya. Terbukti baru-baru ini telah ditemukan vaksin meningitis yang halal, dan MUI mengakuinya. 

Bisa dilihat pernyataan berikut,“Majelis Ulama Indonesia menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin meningitis produksi Novartis Vaccines and Diagnostics Srl dari Italia dan Zhejiang Tianyuan Bio-Pharmaceutical asal China. Dengan terbitnya sertifikat halal, fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin meningitis terpapar zat mengandung unsur babi karena belum ada vaksin yang halal menjadi tak berlaku lagi.” 

”Titik kritis keharaman vaksin ini terletak pada media pertumbuhannya yang kemungkinan bersentuhan dengan bahan yang berasal dari babi atau yang terkontaminasi dengan produk yang tercemar dengan najis babi,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (20/7). Sumber: http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/21/03395385/Tersedia.Vaksin.Meningitis.Halal

Semoga kelak akan ditemukan vaksin lain yang halal misalnya vaksin polio, sebagaimana usaha WHO juga mengupayakan hal tersebut. WHO yang dituduh sebagai antek-antek negara barat dan Yahudi, padahal tuduhan ini tanpa bukti dan hanya berdasar paranoid terhadap dunia barat. Berikut penyataannya, 

“Menurut Neni [peneliti senior PT. Bio Farma], risiko penggunaan unsur binatang dalam pembuatan vaksin sebenarnya tidak hanya menyangut halal atau haram. Bagi negara non-muslim sekalipun, penggunaan unsur binatang mulai dibatasi karena berisiko memicu transmisi penyakit dari binatang ke manusia”. 

“WHO mulai membatasi, karena ada risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum sapi bisa menularkan madcow (sapi gila),”ungkap Neni dalam jumpa pers Forum Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011) [sumber: http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-Pembuatan-Vaksin

Fatwa MUI pun tidak selamat, tetap saja dituduh ada konspirasi di balik itu. Maka kami tanyakan kepada mereka, 

“Apakah mereka bisa memberikan solusi, bagaimana supaya jama’ah haji Indonesia bisa naik haji, karena pemerintah Saudi mempersyaratkan harus vaksin meningitis jika ingin berhaji. Hendaklah kita berjiwa besar, jangan hanya bisa mengomentari dan mengkritik tetapi tidak bisa memberikan jalan keluar.” 

Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah Ta’ala berfirman, 

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [Al-Hajj: 78] 

Jika masih saja tidak boleh dan haram bagaimanapun juga kondisinya 

Jika masih berkeyakinan bahwa vaksin itu omong kosong, haram dan tidak berguna, maka ketahuilah, vaksin inilah yang memberikan kekuatan psikologis kepada kami para tenaga kesehatan untuk bisa menolong dan mengobati masyarakat umum. Jika kami -tenaga kesehatan- tidak melakukan vaksinasi hepatitis B, seandainya mereka yang kontra vaksinasi terkena hepatitis B dan perlu disuntik atau dioperasi, maka saya atau pun tenaga medis lainnya akan berpikir dua kali untuk melakukan operasi jika mereka belum divaksin hepatitis B. Maka hati kami akan gusar dalam menjalankan tugas kami, kita tidak tahu jika ada pasien yang luka, berdarah, lalu kita bersihkan lukanya, kemudian ternyata diketahui bahwa dia berpenyakis hepatitis B. Karena keyakinan sudah divaksinasi hepatitis B, maka hal itu membuat kami bisa menjalaninya. 

Begitu juga jika istri mereka hendak melahirkan dan terkena hepatitis B, bidan yang membantu mereka akan berpikir dua kali untuk membantu persalinan jika dia belum vaksin hepatitis B. Karena hepatitis B termasuk penyakit kronis dengan prognosis buruk, belum ditemukan dengan pasti obatnya. 

Benarkah konspirasi dan akal-akalan Barat dan Yahudi? 

Untuk memastikan hal ini perlu penelitian dan fakta yang jelas, dan sampai sekarang belum ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Walapun mereka kafir tetapi Islam mengajarkan tidak boleh dzalim tehadap mereka, dengan menuduh tanpa bukti dan berdasar paranoid selama ini. Begitu juga WHO sebagai antek-anteknya. 

Malah yang ada adalah bukti-bukti bahwa tidak ada konspirasi dalam hal ini, berikut kami bawakan beberapa di antaranya: 

§ Pro-kontra imunisasi dan vaksin tidak hanya berada di Negara Islam dan Negara berkembang saja, tetapi dinegara-negara barat dan Negara non-Islam lainnya seperti di Filipina dan Australia. Sumber: http://www.metrotvnews.com/ekonomi/news/2011/07/28/59298/Kelompok-Antivaksin-tak-Hanya-Ada-di-Indonesia

Pro-kontra imunisasi sudah ada sejak Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian juga penentang imunisasi cacar di Inggris sampai membawanya di parlemen Inggris. Para Ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DPT karena menyebabkan reaksi panas (demam). [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal. 361] 

§ Amerika melakukan imunisasi bagi pasukan perang mereka. Ini menjawab tuduhan bahwa imuniasi hanya untuk membodohi Negara muslim dan sudah tidak populer di Negara barat, bahkan mereka mengeluarkan jurnal penelitian resmi untuk meyakinkan dan menjawab pihak kontra imunisasi. Salah satunya adalah jurnal berjudul, “Immunization to Protect the US Armed Forces: Heritage, Current Practice, and Prospects” Sangat lucu jika mereka mau bunuh diri dengan melemahkan dan membodohi pasukan perang mereka dengan imunisasi. Jurnal tersebut bisa di akses di: http://epirev.oxfordjournals.org/content/28/1/3.full

§ WHO juga sedang meneliti pengembangan imunisasi tanpa menggunakan unsur binatang sebagaimana kita jelaskan sebelumnya. 

Uang dibalik imunisasi? 

Jika memang ada bisnis uang orang-orang Yahudi di balik imunisasi, maka ini perlu ditinjau lagi, karena Indonesia sudah memproduksinya sendiri, misalnya PT. Bio Farma. Jika memang mereka ingin memeras negara muslim, mengapa mereka tidak monopoli saja, tidak memberikan teknologinya kepada siapa pun. 

Imunisasi tidak menjamin 100% 

Tidak ada yang obat yang bisa menjamin 100% kesembuhan dan menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung banyak faktor, salah satunya adalah daya tahan tubuh kita. Begitu juga dengan imunisasi, sehingga beberapa orang mempertanyakan imunisasi hanya karena beberapa kasus penyakit campak, padahal penderita sudah diimunisasi campak. 

Semua obat pasti ada efek sampingnya 

Bahkan madu, habbatussauda, dan bekam juga ada efek sampingnya, hanya saja kita bisa menghilangkan atau meminimalkannya jika sesuai aturan. Begitu juga dengan imunisasi yang dikenal dengan istilah KIPI [Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi]. Misalnya, sedikit demam, dan ini semua sudah dijelaskan dan ada penanganannya. 

Anak yang tidak imunisasi lebih sehat? 

Ada pengakuan bahwa anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi. Maka kita jawab, bisa jadi itu karena faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan. Banyak orang-orang miskin dan kumuh anaknya lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya sehat. Apakah kita akan mengatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat? Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade tingkat internasional. Apakah kita kemudian akan mengatakan, ikut imunisasi saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus. 

Penelitian tentang kegagalan imunisasi dan vaksin yang setengah-setengah 

Umumnya penelitian-penelitian ini adalah penelitian tahun lama yang kurang bisa dipercaya, mereka belum memahami benar teori imunologi yang terus berkembang. Kemudian tahun 2000-an muncul kembali yaitu peneliti Wakefield dan Montgomerry yang mengajukan laporan penelitian adanya hubungan vaksin MMR dengan autism pada anak. Ternyata penelitian ini tidak menggunakan paradigm epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler yang belum memberikan bukti shahih. Bukti juga masih sepotong-potong. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan ini akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur. [Pedoman Imunisasi di Indonesia hal 366-367] 

Keberhasilan vaksin memusnahkan cacar [smallpox] di bumi 

Bukan cacar air [varicella] yang kami maksud, tetapi cacar smallpox. Yang sebelumnya mewabah di berbagai negara dan sekarang hampir semua negara menyatakan negaranya sudah tidak ada lagi penyakit ini. 

“Following their jubilant announcement in 1980 that smallpox had finally been eradicated from the world, the World Health Organization lobbied for the numbers of laboratories holding samples of the virus to be reduced. In 1984 it was agreed that smallpox be kept in only two WHO approved laboratories, in Russia and America” 

“Setelah pengumuman gembira mereka pada tahun 1980 bahwa cacar akhirnya telah diberantas dari bumi, WHO melobi agar jumlah laboratorium yang memegang sampel virus bisa dikurangi. Pada tahun 1984, disepakati bahwa (virus) cacar hanya disimpan di dua laboratorium yang disetujui WHO, yaitu di Rusia dan Amerika.” 


Lihat bagaimana dua negara adidaya saat itu yang saling berperang berusaha mendapatkan ilmu ini dengan menyimpan bibit penyakit tersebut. Jika ini hanya main-main dan bohong belaka, mengapa harus diperebutkan oleh banyak negara dan akhirnya dibatasi dua Negara saja. Lihat juga karena vaksinlah yang menyelamatkan dunia dari wabah saat itu, dengan izin Allah Ta’ala. 

Dukung Imunisasi Polio Pemerintah 

Kita tidak boleh memaksa, kita hanya bisa mengarahkan. Sama dengan wabah cacar, maka polio juga menjadi sasaran pemusnahan di muka bumi. Oleh karena itu, semua orang harus ikut serta sehingga virus polio bisa musnah di muka bumi ini. Jika ada beberapa orang saja yang masih membawa virus ini kemudian menyebar, maka program ini akan gagal. Di Indonesia pemerintah mencanangkannya dengan “Indonesia Bebas Polio”. Mengingat penyakit in sangat berbahaya dengan kemunculan gejala yang cepat. 

Mungkin kita harus belajar dari kasus yang terjadi di Belanda. Di sana, ada daerah-daerah yang karena faktor religius, mereka menolak untuk divaksin, biasa disebut “Bible Belt”, mereka tersebar di beberapa daerah di Belanda. Akibatnya, terjadi outbreak (wabah) virus Measles antara tahun 1999-2000 dengan lebih dari 3000 kasus virus Measles dan setelah diteliti ternyata terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Padahal kita tahu, sejak vaksin Measles berhasil ditemukan tahun 1965-an [sekarang vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella)], kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi. 

Maka ini menjadi pelajaran bagi kita, ketika daya tahan tubuh kita tidak memiliki pertahanan tubuh spesifik untuk virus tertentu, bisa jadi kita terjangkit virus tersebut dan menularkannya kepada orang lain bahkan bisa jadi menjadi wabah. Karena bisa jadi, untuk membangkitkan daya tahan spesifik terhadap serangan virus tertentu yang berbahaya, sistem imunitas kita kalah cepat dengan serangan virusnya, sehingga bisa barakibat fatal. Dan inilah yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi. Itulah mengapa pemerintah sangat ingin agar imunisasi bisa mencakup hampir 100% anak, agar setiap orang mempunyai daya tahan tubuh spesifik terhadap virus tersebut. [dua paragraf di atas adalah tambahan dari editor, Jazahumullahu khair atas tambahan ilmunya] 

Keberhasilan teori dimana teori tersebut menjadi dasar teori imunisasi 

Imunisasi dibangun di atas teori sistem imunitas (sistem pertahanan tubuh) dengan istilah-itilah yang mungkin pernah didengar seperti antibodi, immunoglubulin, sel-B, sel-T, antigen, dan lain-lain. Teori inilah yang melandasi ilmu kedokteran barat yang saat ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Dan sudah terbukti. 

Bagaimanakah sebuah obat penekan sistem imunitas bekerja seperti kortikosteroid, bagaimana obat-obat yang mampu meningkatkan sistem imun. Bahkan habbatussauda pun diteliti dan sudah ada jurnal kedoktean resmi yang menyatakan bahwa habbatussauda dapat meningkatkan sistem imun. Semua dibangun di atas teori ini. Dan masih banyak lagi, misalnya vaksin bisa ular. Bagaimana seorang yang digigit ular berbisa kemudian bisa selamat dengan perantaraan vaksin ini. Vaksin tetanus, rabies, dan lain-lainnya 

Demikian yang dapat kami jabarkan, kami tidak memaksa harus mendukung imunisasi. Tetapi silahkan para pembaca yang menilai sendiri. Yang terpenting adalah kami telah menyampaikan cara menyikapi pro dan kontra imunisasi. Kami juga tetap berkeyakinan bahwa pengobatan nabawi adalah yang terbaik, seperti madu, habbatussauda, dan lain-lain. Sehingga jangan ditinggalkan hanya karena sudah diimunisasi. 







Penutup 

E. Penutup 

Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at. Silahkan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting kita jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini dan saling menyalahkan. 

Semoga uraian ini ada manfaatnya bagi siapa saja, termasuk untuk memberi penerangan kepada sementara umat Islam yang masih terbatas informasinya mengenai masalah vaksinasi-imunisasi. Hanya kepada Allah kami mohon ridlo-Nya, kami mohon ampunan-Nya atas kesalahan, dan kasih sayang-Nya sehingga senantiasa dalam keadaan lapang.Walla>hu a’lamu bi ash-shawa>b. 





























DAFTAR PUSTAKA 

Al-Qur’an al-Karim 

Abdul Baqi’, Ahmad Fuad, 2007, al-Lu’lu> u wa al-Marja>n, (terj.) Salim Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu. 

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, al-Furqa>n, Edisi 05,Th.ke – 8,1429H/2008M. 

Asy-syathibi, [t.th.], al-Muwa>faqa>t li Ahka>m asy-Syari>’ah, Beirut: Dar al-Fikr. 

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, 2000, Bulu>gh al-Mara>m (terj.) Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani. 

Gayo, M.Iwan, 2008, Buku Pintar Haji dan Umrah, Jakarta: Grasindo. 

Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia 

Ibnu Baz, Majmu>’ Fata>wa wa al-maqa>la>t, 6 ; 25 

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, 2006, Prophetic Medicine, (terj.) Ahmad Asnawi. Jakarta: Diglosia Media. 

Ibnu Taimiyyah, al-Fata>wa al-Kubra, I : 43 

“Majlis Tarjih dan Tajdid (MT-T), 2010, Musyawarah Wilayah Tarjih ke 8, Kendal: Pondok Modern Darul Arqam. 

Sartre, Jean Paul, 1948, Existensialism and Humanism (trans.) Mairet, PH, London: Methuin Co &LTD. 

Qadawi ‘Azzat al-Ghananim, [t.th.], al-Istihaalah wa Ahkamuha fi al-Fiqh al-Islami. 

Website Majlis Eropa Lil Ifta’ wal Buhuts/www/.e-cfr 

http://permataonline.wordpress.com/2009/03/27/kurma dalam Al-Qur’an dan As-sunah 


Buku “Kupas Tuntas Khasiat Kurma” oleh Zaki Rakhmawan 

http://izzati-store.com/makanan penuh hikmah-banyak disebut dalam Al-Qur’an dan hadist 











Tidak ada komentar: